Breaking News

LSM Garang Mendukung Penuh Komitmen Gubernur Aceh Berantas Mafia Tambang Ilegal Di Aceh


Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf atau Mualem menegaskan sikap tegas terhadap praktik tambang ilegal di seluruh wilayah Aceh. Ia memberi ultimatum dua pekan ini agar seluruh alat berat (Beko) segera dikeluarkan dari hutan Aceh, seraya menyiapkan Instruksi Gubernur untuk menata dan menertibkan tambang ilegal, yang nantinya diarahkan agar bisa dikelola oleh masyarakat dan UMKM.

Langkah tegas ini langsung mendapat dukungan dari Ketua Umum Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Aktivis Rakyat Aceh Tamiang (LSM GARANG) dan ia juga merupakan Ketua DPW Muda Seudang Aceh Tamiang Anderbow / Sayap  Partai Aceh, Chaidir Azhar, S. Sos

Menurutnya, penertiban tambang ilegal di Aceh khususnya yang menggunakan alat berat atau beko adalah langkah penting demi menyelamatkan hutan dan ekosistem Aceh. Namun, ia mengingatkan bahwa penertiban semata tanpa jalan keluar justru bisa memperdalam konflik. 

Chaidir mendorong agar Gubernur Aceh Mualem segera dapat melahirkan Qanun tentang Pertambangan Rakyat sebagai dasar hukum legalisasi tambang rakyat Aceh. 

“Penertiban ini sangat penting, tapi jangan sampai rakyat kehilangan ruang hidupnya. Legalisasi tambang rakyat adalah solusi agar tidak ada lagi kebocoran PAD, rakyat terlindungi secara hukum, dan lingkungan bisa dikelola dengan standar yang jelas,” tegas Chaidir, Jum'at (26/09/2025).

Dikatakan, masalah tambang ilegal di Aceh memang sudah mencapai skala mengkhawatirkan. DPR Aceh mengungkap ada sekitar 1.000 unit ekskavator yang bekerja di hampir 450 titik tambang ilegal tersebar di berbagai kabupaten termasuk yang ada di wilayah Kabupaten Aceh Tamiang.

Kerugian ekonomi akibat tambang ilegal ini pun tidak main-main. Dari potensi emas dan mineral yang ditambang tanpa izin, Aceh kehilangan setidaknya ratusan miliar rupiah PAD setiap tahun. Hitungan kasar, jika 1.000 ekskavator rata-rata menghasilkan dua kilogram emas per bulan, maka ada sekitar 24 ton emas yang keluar setiap tahun tanpa mekanisme pajak dan royalti resmi. Dengan harga emas rata-rata Rp1,2 miliar per kilogram, potensi ekonomi yang “hilang” mencapai Rp.28 triliun per tahun.

Menurut Chaidir, ketidakjelasan status tambang rakyat hanya memperlebar jurang ketidakadilan, Ribuan keluarga penambang rakyat diposisikan sebagai kriminal, sementara perusahaan besar bebas mendapat izin eksplorasi.

Sambungnya, Chaidir mendesak Gubernur Aceh menghentikan sementara pemberian izin baru kepada perusahaan tambang sampai peta wilayah pertambangan ditetapkan dengan jelas. Skema pembagian WIUP, WPR, dan WIUPK harus dituntaskan terlebih dahulu agar rakyat tidak terus-menerus menjadi penonton..

Selain itu, Chaidir menilai setiap daerah penghasil tambang di Aceh perlu membentuk BUMD khusus pertambangan. Pungkasnya. 

BUMD ini akan menjadi instrumen hukum sekaligus ekonomi untuk memperkuat posisi tawar daerah, Model ini sudah terbukti berhasil di Kalimantan dan Sulawesi, yang mampu meningkatkan PAD dan memberi kontrol lebih kepada pemerintah daerah atas aktivitas pertambangan.

Bagi Chaidir, sikap tegas Mualem bisa menjadi momentum emas untuk menata ulang pertambangan di Aceh. Tetapi momentum itu hanya akan berbuah jika diikuti dengan regulasi yang melindungi kepentingan rakyat.

“Kalau hanya penertiban, rakyat akan semakin terpinggirkan. Tapi kalau ada legalisasi tambang rakyat, ini akan menjadi titik balik bahwa Aceh benar-benar mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945 bahwa kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” Tutupnya.
© Copyright 2022 - tamiang.satusuara.co.id